Selamat Jalan, Sophie!

Dalam Pelukan Kiper

Ilustrator : Dimas
Cerpen karya Tris Anova Arlim
Telah diterbitkan pada Majalah Story, edisi 23 pada tanggal 25 Juni 2011
Bola itu melesat kencang hendak menembus gawang pertahanan tim Ksatria 99. Dengan gerakannya yang khas Virgo melompat sigap dan hop..! si kulit bundar sukses mendarat di pelukannya. Aku yang menjadi supporter setia tim ini entah mengapa merasa  deg-degan tak karuan. Beruntung sekali bola itu, pikirku. Dia bisa dengan leluasanya dekat dengan Virgo. Itulah secuplik adegan pertandingan yang selalu terbayang dalam ingatanku.
Sebagai  Kiper  andalan di SMA 99, Virgo cukup berkibar dalam prestasinya. Memang untuk urusan pelajaran ia terbilang biasa saja, namun dalam tim sepak bola yang dilatih oleh Pak Aksandy, guru olahraga sekolah kami, ia menjadi salah satu aset yang tak ternilai.
Aku selalu curi-curi pandang ke arah Virgo. Meskipun Ibu mengatakan bahwa ia sudah dianggap anak dalam keluarga kami, namun aku tak rela merubah statusku menjadi adiknya. Sejak takdir mempertemukan Ibu dengan pemuda yatim piatu itu, banyak sekali hal yang berubah dalam hidupku. Pertama, aku mendadak punya kakak laki-laki yang Ibu bilang akan selalu menjagaku dan membantuku. Kedua, hatiku sering bergetar bila ada di dekatnya bahkan ketika aku hanya ingat dirinya.
Kini kami satu sekolah. Ia sempat berhenti 2 bulan dari sekolahnya yang dulu karena tak bisa lagi melanjutkan saat kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan kereta. Dan karena ia telah menolong Ibuku ketika hampir saja dirampok oleh 3 orang laki-laki tak dikenal, maka Ibu memutuskan mengangkat Virgo menjadi anaknya.
“Sudah selesai, hon?”  
Yaaaah… Delia pacarnya yang modis datang dan otomatis menghalangi pandangan mataku dari sela-sela bonsai sekolah. Anak orang kaya itu seolah pamer kedekatan dengan kakak angkatku ini. Aku mengerti mengapa Virgo menyukainya. Delia juga salah satu siswa terpopuler di sekolah kami, cantik. Gadis yang tidak terlalu jahat kecuali menurut orang-orang yang tak pernah dianggap ada olehnya. Aku yakin dia juga tak kenal aku, walaupun kelas kami hanya dibatasi oleh sebidang tembok biru.
Selama ini aku tak pernah terpikir untuk bersaing dengan siapa pun, termasuk untuk merebut tahta Delia sebagai gadis idaman di sekolah. Namun detik ini rasanya pikiranku berubah. Aku tak bisa melihat Virgo terlalu dekat dengannya. Dinobatkannya ia sebagai kakakku oleh Ibu, bukan berarti kesempatanku untuk mendapatkan cintanya sirna begitu saja.
Virgo pemuda yang gagah, kalem, dan penuh inisiatif. Inisiatif untuk membantu, menghargai dan menciptakan suasana yang membosankan menjadi menyenangkan. Aku ingat, hari pertama kedatangannya ke rumahku 2 bulan yang lalu. Saat itu bertepatan dengan masa-masa muram dalam sejarahku sebagai seorang gadis. Di saat Cecil, Via dan Rahmi sudah memproklamirkan kemerdekaannya dari rezim perjombloan, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Hellooo… aku ini sudah kelas  1 SMA, loh, alias kelas X. Bagaimana hatiku tak hancur ada dalam situasi itu?
Dialah Virgo yang lantas datang merubah segalanya menjadi indah, “Wa, untuk happy itu kan nggak harus punya pacar. Kamu masih punya Ibu, teman-teman dan sekarang aku, kakakmu. Nggak mungkin kesepian, dong, Wa? Kamu hobinya apa? Mancing? Shopping? Ayo, aku temanin,” hibur Virgo penuh semangat.
Waktu itu aku hanya diam. Masih ingin berpikir dulu apa kalimat itu hanya sebatas hiburan semata atau memang tulus darinya. Ah… tulus. Detik ini aku malah berharap ucapan itu tidak tulus sama sekali. Maksudku, agar ia tak tulus menganggapku sebagai adiknya, melainkan berharap ada rasa lain yang bersemayam. Oh, mungkinkah?
***
Sinar mentari hari ini tak sepadan dengan suasana hatiku, karena sesaat sebelum aku sempat mengatakan agar kami berangkat bareng saja ke sekolah, Virgo kedatangan tamu agung.
Hon… berangkat bareng aku aja, yuk, ” dengan senyuman yang manis Delia sudah standby di pagar rumah kami.
Tanpa pikir panjang pemuda itu menyambut senyuman kekasihnya dengan hangat. Hhhuh… aku melenguh di balik pintu. Andai Virgo tahu perasaan adik angkatnya ini.
Tapi sebisa mungkin aku  menyembunyikan perasaanku itu. Apa kata dunia bila Virgo tahu bahwa aku menyukainya? Meskipun aku selalu berharap kami bisa lebih dari sekedar saudara angkat, tapi aku juga tak mau ia menganggapku gadis murahan.
“Ku ajak Wawa sekalian, ya? Kan tujuan kita sama,” aku sedikit terlonjak mendengar ucapannya.
“Wawa? Siapa?” Delia terlihat heran.
“Adikku. Lho, kalian nggak kenal? Kelasnya kan disamping kelasmu, Del.”
Aku hanya mendengarkan obrolan mereka dibalik pintu sambil pura-pura membereskan buku.
“Oh.. ng.... mungkin kalo lihat wajahnya aku kenal. Maklum, siswa sekolah kita kan banyak banget,” jawab Delia berusaha membela diri.
“Bentar, ya. Wawaaaa… berangkat bareng, yuk,” ajakan itu terdengar  jelas dari tempat ku berdiri. 
Ya sudahlah, pikirku. Setelah berpamitan pada Ibu yang sedari tadi menyirami bunga di teras, kami pun berangkat dengan mobil Delia. Menyebalkan! Disaat mereka asik-asikan ngobrol berdua di jok belakang, aku harus menemani supirnya nona kaya itu di depan. Mana sopirnya senyum terus lagi ke aku. Jadi risih.
Mengapa aku harus menyukai seseorang yang sudah punya kekasih seperti ini? Rasa itu memang tak datang serta-merta saat pertama melihatnya dulu kala ia belum dimiliki siapapun. Tapi perlahan namun pasti, kebersamaan telah membuat hatiku berkata lain. Aku suka Virgo. Dan dia sudah resmi berpacaran dengan gadis lain tepat seminggu yang lalu. Waktu itu ia terlihat bahagia sekali menceritakan keberhasilannya menjadi kekasih Delia. Aku sempat kecewa, namun tetap menyimpan harap.
“Wa… udah nyampe sekolah, nih. Turun, yuk,” suara Virgo membuyarkan lamunanku. Ah.. jadi makin keki.
Aku dan Delia berjalan ke arah kiri menuju kelas kami, sementara Virgo mengarah ke kanan ke deretan ruangan siswa kelas XII. Delia dari tadi berusaha melirikku seperti ingin bicara, mungkin ingin mengambil hati calon adik ipar. Heuh! Aku tak sudi.
***
Hari minggu yang cerah. Langit hanya dihiasi seonggok awan tipis yang putih bersih. Kami bertiga sama-sama tak melakukan aktivitas rutin seperti biasanya. Aku dan Virgo tak sekolah, sementara Ibu pun memutuskan untuk agak siangan saja membuka toko bajunya hari ini.
Ibu ingin mengisi hari minggu dengan membuatkan kami masakan yang spesial. Tentu saja aku sangat senang, walau sebenarnya bagiku setiap hari masakan Ibu adalah spesial. Kami pun berkumpul dalam suasana yang santai dan akrab. Kehadiran Virgo benar-benar membuat hidupku lebih berwarna. Ya Allah, jangan biarkan ada yang tahu tentang perasaanku ini.
Seusai menyantap hidangan yang disediakan Ibu, lantunan lagu You Rise Me Up berbunyi dari HP Virgo. Aku mendengarnya menyebut “hon”. Pasti saja telepon itu datangnya dari Delia. Siapa lagi?
“Oke, 15 menit lagi, ya, daah.” kalimat penutup yang membuat perasaanku tak enak.  
Dan benar saja, Virgo lantas bersiap-siap, lalu berpamitan pada Ibu dan aku. Ibu tersenyum melihat tingkah anak angkatnya yang sedang kasmaran, sementara aku menggerutu dalam hati dan kekeuh berusaha membuat raut wajahku seolah tak merasakan apa-apa. Perjuangan yang berat. Lagi-lagi Delia mengacaukan hariku. Sekarang kemana lagi ia mau mengajak kakak angkatku itu?
Karena merasa kesepian di rumah, aku pun memutuskan untuk jalan-jalan sendirian. Hari libur seperti ini sudah langganan bagi mereka yang punya pasangan untuk jalan berdua sekedar mengunjungi Mall atau Kafe dan aku tak bisa berharap dapat ditemani oleh 3 temanku yang sudah tak jomblo lagi.
Saat melewati sebuah toko bunga, aku jadi ingin menambah koleksi bunga Ibu untuk ditaruhnya di teras. Banyak sekali pilihan yang bisa kita beli disini dan … tunggu! Aku melihat 2 orang yang ku kenal juga memasuki toko yang sama, Delia dan Virgo. Segera aku bersembunyi di balik pohon palm yang ada di bagian belakang ruangan, pura-pura mengamati tanaman itu agar tak ada yang curiga.
“Kamu pilih aja dulu bunganya, ya, Aku cari buku dulu di toko depan.” Bagus. Virgo pergi dan Delia sendirian. Kesempatan bagiku untuk membuat perhitungan dengannya.
“Del…”
“Hei, Wawa. Kamu disini?” sambut Delia tersenyum.
“Ya, lebih duluan dari kamu. Nggak usah basa-basi. Kenapa sih, pakai nelpon kakakku segala? Kamu nggak tau, ya, kami lagi ngumpul sama Ibu di rumah?”
“Aduh, maaf, Wa, tapi Virgo nggak ngomong apa-apa tentang itu. Kami janjiannya juga udah dari kemarin soalnya.”
Aku terdiam. Jawaban Delia makin membuatku sedih. Ternyata Virgo memang sudah menyiapkan hari minggu ini untuk dinikmatinya bersama Delia. Langsung saja ku ambil langkah seribu keluar dari toko itu. Sekilas nampak wajah Delia yang masih kebingungan melihat tingkahku yang aneh dan ia berusaha memanggilku, namun tak ku hiraukan
***
 Segelas jus mangga dicampur susu coklat menemaniku duduk di ruang tengah. Sendiri lagi, pikirku. Tadi aku langsung pulang setelah sempat menumpahkan unek-unek  pada kekasih kakak angkatku, si Delia itu. Sudah pukul 2 siang Virgo masih belum pulang, entah kemana mereka.
Lantas terpikir olehku untuk masuk ke kamar Virgo. Setidaknya itu mungkin bisa membuat ku merasa ada didekatnya. Rapi. Itulah kesan pertama yang ku dapatkan saat memasuki ruangan itu. Sejak ia tinggal disini, ini lah pertama kalinya aku masuk ke ruangan pribadinya.
Aku memandangi seisi ruangan dengan seksama. Mulai dari dinding, meja dan tempat tidur. Sampai akhirnya sebuah agenda hitam yang menyembul dari balik bantal  tiba-tiba menarik perhatianku. Terketuk hatiku untuk membaca buku agenda itu. Dengan sedikit ragu ku buka lembaran pertama. Disana terselip sebuah foto yang bertuliskan “Papa dan Mamaku tercinta”. Sebagai anak tunggal tentu saja tak mudah baginya kehilangan kedua orang tua dalam waktu yang bersamaan sedangkan saudara lain pun ia tak punya.
Saat ku buka lembar berikutnya hatiku bergetar. Ada foto kami bertiga, Ibu, Aku dan Virgo. Disana tertulis “Bersama Ibu dan Adikku tersayang”. Apa? Jadi ia benar-benar menganggapku hanya adiknya?
Meski gemetar tetap ku lanjutkan melihat-lihat agenda itu. Lembaran berikutnya tertulis sebait cerita tentang seseorang.
Delia… Gadis yang sedikit angkuh
namun telah berhasil memikatku
Bukan karena cantiknya saja
Tapi karena ia manusia biasa
Manusia yang sering berlaku salah,
namun mau memperbaiki dirinya untuk bisa melihat kebenaran.
Ini rahasia : ternyata ia tak seangkuh yang ku duga.

Terbakar. Hatiku benar-benar terbakar api cemburu. Virgo ternyata menyukai Delia dengan tulus, padahal tadinya aku berharap ia memacari Delia hanya karena rasa gengsi bintang lapangan yang juga menginginkan kekasih sepopuler dirinya.
***
Sebulan sudah kebenaran itu terkuak. Akhirnya ku putuskan untuk mencoba berdamai dengan kenyataan. Untung saja rasa ini belum sempat ku curahkan pada siapapun dan media manapun. Dan pertengkaranku dengan Delia juga tak pernah dibahas oleh Virgo. Entah karena Delia tidak bercerita atau karena memang Virgo tak ingin membahasnya.
Hari ini adalah hari pertama Liga 99 digelar. Kali ini Virgo berjuang demi tim sepak bola kelasnya. Dari kejauhan si kulit bundar bergerak lincah seolah menertawakanku karena tak bisa menjadi seperti dirinya. Aku hanya tersenyum getir, dalam setengah lamunan, hingga getar HPku lantas membuyarkan lamunan itu.
“Assalamualaikum…”
“Wawa,”
“Ya, Bu Shinta”
“Bu Sandra masuk rumah sakit,”
“Apa? Ibu saya masuk rumah sakit?” aku mulai panik.
“Iya, Wa. Tadi waktu di toko beliau pingsan. Kami membawanya ke ….,”
Kalimat selanjutnya tak lagi ku dengar. Berita itu membuat semua sendiku melemah. HPku terlepas dan aku terduduk. Semua mata tertuju padaku. Entah bagaimana caranya pertandingan itu terhenti, yang ku tahu Virgo kini ada disini.
“Wa… ada apa? Kamu sakit?”
Aku hanya sanggup menggelengkan kepala sambil beruraian air mata.
“Kak, tadi Wawa dapat telepon. Dia nyebut-nyebut Ibu masuk rumah sakit gitu,” aku mendengar suara Cecil menjelaskan kronologisnya pada Virgo.
“Apa? Ibu? Ya, Allah. Ibuku,” ungkapan yang menyiratkan rasa cemas pun tak urung terucap dari mulutnya.
Virgo bertindak secepat kilat. Ia memungut HPku yang tergeletak dilantai dan menghubungi nomor pada panggilan terakhir yang ku terima. Setelah mendapatkan alamat lengkap rumah sakitnya, ia pun memapahku dari lapangan itu sambil minta maaf pada timnya karena tak bisa lagi melanjutkan pertandingan. Samar nampak sosok Delia yang langsung membukakan pintu mobil yang siap mengantar kami ke rumah sakit tempat Ibu berada.
“ Sabar, ya, Wa,” suara Delia yang lembut terdengar olehku. Kali ini kami berdua yang duduk di jok belakang, sementara Virgo duduk di depan. Walau dalam situasi segenting ini aku masih sempat berpikir tentang keanehan Delia yang mendadak menjadi orang yang perhatian. Bahkan setelah aku melabraknya di toko bunga. Apa iya, dia telah berubah?
Dalam waktu 20 menit kami sudah sampai di rumah sakit yang dimaksud. Aku langsung turun dari mobil, berlari ke UGD mencari Ibuku.
“Ibuuu…” aku menghambur ke dekat Ibu yang sedang tak sadarkan diri diruangan pertama.
Dokter menjelaskan sesuatu pada Virgo yang saat itu tak sepanik diriku. Penjelasan dari dokter hanya terdengar samar dari tempat ku berdiri. Tubuh Ibu ku guncang berharap agar beliau segera siuman. Tapi tak ada reaksi. Ibu tetap diam bergeming.
Aku sangat terpukul. Perlahan sepasang tangan yang hangat meraih tubuhku lalu membenamkanku dalam pelukannya. Ya, itu tangan Virgo. Aku menangis sejadinya. Menangis tentang segala hal, tentang Ibu, tentang hatiku dan tentang pelukan Kiper itu yang cukup mewakili pernyataan bahwa ia benar-benar menyayangiku. Walaupun, sekali lagi, hanya sebagai adik kesayangannya.

_SEKIAN_